Kisah dari Cilamaya, Sebuah Pertemuan
Kisah
perkenalan aku dengan cowok memang tidak pernah berakhir manis seperti di
sinetron.
Baiklah
akan kuceritakan padamu...
Entah,
bagaimana skenario hidup yang dirancang oleh Tuhan, 2 minggu setalah resign
dari Pekanbaru, akhirnya aku menyebrang ke pulau jawa, Tujuan utama memang
bukan Jakarta, tentu saja kota impian saya adalah Yogyakarta atau Bandung kota
paling Ramah dan Indah di Indonesia, tapi
untuk mendapatkan pekerjaan di kota tersebut tidaklah mudah. Selain akan
kalah cantik sama gadis-gadis jawa yang anggun dan ayu, lowongan pekerjaan
disana tidak sebegitu banyak. Akhirnya aku menyerah jika harus berkarir di
Jakarta, menjadi wanita Metropolitan tak apalah.
Tetapi
hidup ternyata menawarkan sesuatu yang lebih dramatis, melalui informasi seorang
kawan aku melamar, melewati serangkaian test dan diterima. Awal yang indah saya
menjalani Training di sebuah Hotel di Cipanas, Cianjur. Aihh... tempat yang
sudah lama ingin kukunjungi aku selalu penasaran dengan keindahan cianjur
hingga orang rela bermacet-macet ria tiap weekend & libur panjang. Setidaknya
begitulah yang aku tonton di berita. Dan ternyata sungguh tidak mengecewakan,
Cipanas dengan view gunung-gunungnya yang hijau sepanjang jalan, dengan kawasan
pinusnya sungguh menyejukkan mata yang penat dengan keruwetan jakarta.
Aku
SHOCK berat ketika tiba di Cilamaya Wetan masih bagian dari kabupaten karawang,
aku akan OJT selama 1 bulan kedepan di kota ini, dengan suku, bahasa, dan
lingkungan yang sangat jauh berbeda kala di sumatera. Cilamaya Wetan konon
katanya sudah dekat dengan pantai utara (walau selama 1 bulan tidak melihat
pantai tersebut). Kota ini panas, sangat panas. Katanya sih karena ini jalur
pantura dan dekat pantai. Aku cari kontrakan yang jaraknya Cuma 100 M dari
kantor. Karena aku disini Cuma bentar doang, jadilah aku merayu bapak kos untuk
membagi kasur dan ember karena aku tidak mungkin beli, ntar kalau beli susah
ngangkutnya. Gitu prinsip ekonomi yang diterapkan.
Aku
selalu iri dengan orang-orang ekstrovert yang bisa membuka diri dengan cepat
dengan lingkungan, tidak seperti aku yang banyakan diam dan paling sebel jika
harus memulai percakapan. Aku malas jika harus bertanya pertanyaan yang sama
setiap hari, “lagi ngapain Teh?’ yang jelas-jelas aku sudah tahu karena lihat
sendiri lagi nyapu halaman. Basa-basi yang basi banget kann ya?. Dan aku juga
malas menjelaskan kebanyak orang, ketika menanyakan asal-usul, pertanyaan yang
mengorek-orek informasi personal.
Hingga
akhirnya setelah 1 minggu yang membosankan di kosan, akhirnya aku punya
tetangga baru, Tsahhh.... Cowok lagi. Dan aku masih tetap dengan gaya lamanya,
kata sebagian orang aku sombong padahal sebenarnya karena gak terbiasa bicara
dengan orang yang tidak dekat aja. Halahh...
aku tidak mau menegor tetangga baru ini duluan, padahal dia berada di sebelah
kamar saya, yang jarak pintu belakang kami Cuma dihalangi 1 tiang doang sekitar
10 CM sangat dekat.
Sepulang
dari kerja aku tersentuh, melihat sampah-sampah aku dibelakang diberesin, aku
dibuatkan tempat sampah, dibuatkan jemuran, dan beberapa kali jemuran diangkat.
Sungguh dia benar-benar pria jawa yang terkenal kesantunannya. Hingga akhirnya
aku merasa bersalah karena tidak pernah menegur belio sementara belio sudah
baik banget. Aku mau ucapin terima kasih gitulah, apalagi pada suatu malam yang
gelap dia menyelipkan lewat celah pintu sebuah surat perkenalan yang belum
pernah aku bales.
Nah,
pada suatu malam ketika aku pulang kerja dan buka pintu belakang belio ada
disana sedang berdiri di depan pintu, entah sedang menghayal atau sedang
memikirkan kekasihnya atau sedang menghitung hutang-hutangnya. Yapp dia berdiri
disana seorang pria baik hati yang walaupun tidak pernah bicara dengan
tetangganya tetap berbuat baik, walaupun dicuekin tatangganya seolah-olah tidak
ada tetap memberikan pertolongan di kala hujan. Aku kaget setengah mampus. Aku juga
tidak mengerti entah semenjak kapan aku grogi ketemu cowok. Yaaa memang aku
pemalu banget menghadapi cowok. Aku udah mau kabur, buru-buru menutup pintu
lalu seperti yang sudah-sudah mengurung diri dalam kesendirian kontrakan.
“baru pulang kerja teh?”
Suara
yang menghentikan langkah kaki dan gerakan tangan untuk menutup pintu. Masih dengan
sombongnya aku gak jawab Cuma tersenyum, yang aku sadar senyum aku pasti kecut.
Aku berdiri bingung mau bales apa, gak tau mau ngomong apa selanjutnya.
“kerja dimana teh?, pulangnya malam terus ya?”
dia ngomong lagi yaa Tuhannnnn, tolong selamatkan
aku bagaimana cara menjawab pertanyaan ini.
“iya, aku kerja disana. Kamu kerja
dimana?”
ohh
my God. Akhirnya aku bisa juga ngomong. Walaupun aku tahu itu pertanyaan
konyol. Tanpa bertanya aku juga tahu dia kerja dimana dari seragam yang dijemur
di belakang.
Aku
baru mengerti terkadang seseorang bertanya, mungkin bukan karena tidak tahu,
atau untuk memastikan sesuatu hanya sekedar melanjutkan pembicaraan yang nyaris
terputus saja.
Malam
itu berlalu dengan sedikit romantis, seperti di film-film. Kami duduk di pintu
masing-masing bersandar pada tembok, bercakap-cakap. Walau dia banyak bertanya
dan aku Cuma menjawab Ya/Tidak. Lalu ada jeda hening yang panjang karena aku
gak bertanya sama sekali. Setelah 1 jam aku capek, aku capek karena gak tahu
harus ngobrolin apa tapi kelihatan nya dia masih semangat. Akhirnya aku
pura-pura menguap beberapa kali dan pamit tidur karena mengantuk padahal 4 jam
setelah itu aku bengong pelototin plafond. Setelah bosan main laptop.
Namanya
Rahmat, Pria dari garut. pria yang hanya bisa pasrah dengan keputusan perusahan untuk pempatan di Cilamaya harus meninggakan kota garut kelahirannya ratusan kilometer jauhnya harus ditempuh, kota yang terkenal dengan dodol garut. kota yang ramah tidak seperti Cilamaya yang ganas karena merupakan "Red Area-nya karawang. aku bingung harus manggil dia Aa, Kang atau Mas kalau aku sih nyamannya
panggil Abang seperti orang sumatera. Kadang aku lupa manggil dia apa, kadang
Aa kadang Mas. Karena capek akhirnya pada pertemuan di malam-malam berikutnya
kami manggil kamu- aku saja. Iyaa... beberapa kali kami melewatkan dialog
pengantar tidur dibelakang rumah, dengan gaya yang sama duduk dipintu, atau dia
duduk menghadap ke arah saya, beberapa kali akhirnya dia mampu bikin saya
ketawa dengan cerita-ceritanya ditempat kerja, ceritaku tak begitu menarik
karena aku tidak tahu harus menceritakan yang mana. Haruskah aku ceritakan
bagaimana Cilamaya bikin aku gerah dengan panasnya, dengan kualitas airnya yang
lengket, bikin rambutku merah dan kering atau aku harus menceritakan bagaimana
sesungguhnya ini bukan karir impianku atau
tentang keinginanku menjadi penulis, bagaimana para novelis-novelis besar mengispirasi aku, atau cerita tentang buku-buku yang
aku baca, atau musik-musik kesukaanku, bagaiman aku mencintai the beatles karena Bapakku, lalu menyukai musik-musik aliran keras menurut banyak orang karena abangku pecinta Greenday, Bon Jovi, Linkin Park dan banyak lagi. bagaimana aku tidak punya identitas dalam soal musik karena semua jenis musik POP, Jazz tetap kedengaran asik buatku. Arghhh... sungguh aku bingung memilihkan yang mana yang harus
kuceritakan, karena aku yakin ceritaku tak akan sesuai dengan minatnya. Maka kubiarkan
saja dia dengan cerita-ceritanya tentang pekerjaannya, kujawab sekedar
pertanyaannya. Walau sesungguhnya jawabanku bisa menjadi cerita 1 malam yang panjang
ketika dia bertanya tentang pendidikan dan karir yang sekarang aku jalani.
Malam-malam
berikutnya aku nelangsa, akhirnya aku merindukan kehadirannya di belakang. Aku kecewa
tiap kali pulang kerja buka pintu dan tak kutemui sosoknya yang tinggi, Dengan kaus lengan pendek dia akan selalu menyambutku dengan senyum lebar yang memamerkan barisan giginya yang rapi, kulitnya yang coklat, tulang pipinya yang menonjol. mukanya yang manis. aku merindukan cerita-ceritanya yang menjadi pengisi kekosongan, penghalau malam-malam sunyi yang panjang. Pernah suatu
malam kami bicara agak lama dia duduk persis di hadapanku aku bisa melihat
matanya dengan jelas, aku suka tulang pipinya ketika dia tertawa lepas. Muka-muka
baik dan ramah. Aku suka karena dia tidak pernah menuntut, tidak pernah
memberondongku dengan pertanyaan walau dia tidak puas dengan jawabanku, dia
tidak pernah meminta PIN atau NO.HP, dia tidak pernah mencoba merayu ku, dia
tidak pernah bertanya sesuatu yang pribadi tentang pacar misalnya, dia tidak
pernah dengan gaya-gaya romantis menawari minum teh dan sebagainya. Kami hanya
2 orang di belakang yang asik bercerita. tidak saling mengusik informasi personal, kami hanya bercerita tentang pengalaman dan perjalanan-perjalanan yang panjang, bercerita tentang kota-kota yang kami kunjungi. Dia tidak pernah menuntutku memberikan alasan-alasan kenapa begini,
kenapa begitu. Itu yang akhirnya membuatku memutuskan membalas surat yang
dikirim lewat celah pintu. Ku berikan PIN BBM dan NO HP sesuai isi surat.
Sebagai
seorang Introvert aku maklum kalau dia mungkin tidak berani meminta secara
langsung dalam obrolan-obrolan panjang kami. Biasanya aku selalu Mudik ke
Indramayu atau jakarta tiap Jumat malam. Maka kuselipkan balasan surat tersebut
lewat bawah pintu.
Aku
semakin jarang bertemu dengannya mungkin dia kerja shift malam, tapi kami sudah mulai
BBM an walau aku tak suka gaya BBM nya aku lebih suka ketika ngobrol langsung
dengannya. Hingga entah BBM ke berapa kali akhirnya aku tahu lewat sebuah
pengakuan bahwa CHN dalam BBM itu bukan Rahmat, (dan bodohnya aku dari awal tidak bertanya apa itu CHN, kupikir itu nama lain karena aku juga punya nama lain yang aku gak pernah jelaskan ke orang-orang apa itu eltor). melainkan orang lain. Temannya satu
kontrakan. Duhhh... kamu tahuu gak sih perasaannya aku gimana?. Pokoknya temannya
ini akhirnya minta kenalan. Aku males sebenarnya tapi demi agar tidak kelihatan
kecewanya aku bahwa yang yang mengirim surat dan yang membaca surat bukan
Rahmat. Yang BBM an dalam beberapa hari terakhir juga bukan rahmat. kutemui juga akhirnya dan aku berjanji itu hanya terjadi sekali saja aku tak suka mengobrol dengannya tak suka dengan topik-topik bahasannya di BBM. dan aku sangat-sangat menyesal kenapa membalas surat itu.... Cryng :'(
CHN
yang aku lupa entah siapa namanya ketika kami berjabat tangan menyebalkan,
ketika aku bilang cape katanya dia mau buatkan aku teh manis, waktu aku pulang
kerja dia nawarin buat beli makan, terus dia nawarin kalau butuh apa-apa minta
aja, ketok aja!. Tau gak sih? Yahh engga tahu kenapa, aku gak suka tipe
laki-laki kayak gini. Aku suka ngobrol yang kayak Rahmat yang tenang, tanpa pretensi dan
tendensi tidak berlebihan. Dia hanya menanyakan tentang perjalananku tanpa
harus sok romantis. Dia hanya menanyakan aku gimana makannya karena di
kontrakan tidak ada peralatan masak tanpa harus menggebu-gebu menawarkan diri
untuk beli makanan.
Dan
yang paling menjijikan CHN memasang DP dengan surat yang aku tulis. Astagfirullahh...
rasanya aku mau pingsan! Semoga Rahmat tidak mengetahui kekeliruan ini. Rusak sudah
reputasiku. wkwkkw
Aku
menyukai ketenangan.. dan CHN mengusiknya
PS
:
Salah
satunya yang mengecewakan dari Rahmat, pengetahuan geografinya di UPGRADE dong.
Masa tiap kali menyebutkan kota salah mulu, Bengkulu gak tahu, Pekanbaru gak
tahu. Batam katanya di kalimantan, Pontianak di sumatra, Manado itu di medan. ahh banyak lagii dehh... yang bikinn aku pengen ngikikk tapi aku tahan untuk menjaga perasaannya.
Ahh,
semoga kamu gak tahu dan gak usah tahu, gak baca dan gak usah baca isi surat
aku yang memalukan itu yaa.. sungguh aku sangat malu karena salah orang.
Terus
yang berbuat kebaikan-kebaikan kecil itu kamu atau teman kamu sih?
Dengar
dengar kamu mau Resign dan mau memulai usaha yaa? Semoga berhasil dehh yaa...
salut sama kegigihan kamu Aa ehh Mas, duhh apa sih?
Kalau kita bertemu lagi, semoga kamu sudah siapkan cerita yang bisa membuatku tertawa yaa...
Kalau kita bertemu lagi, semoga kamu sudah siapkan cerita yang bisa membuatku tertawa yaa...
Hahhahhahaa
Ini
jadi sebuah part yang paling lucu selama diCilamaya
Panjang tapi tak bosan membacanya, 12 menit jadinya lebih bermakna
BalasHapusCilamaya ny dimana m a e
BalasHapus