C I N (T) A

Kalau anda pernah menonton film dengan judul yang sama, sesungguhnya tulisan ini tak ada hubungannya dengan film tersebut.hanya kesamaan judul belaka nama dan tempat disamarkan :Xp”
Kali ini aku jatuh cinta dengan seorang pria bermata sipit dan beda agama. Lalu respon sekitarku? NO WAY!!!
Sudah kuduga, jatuh cinta beda agama adalah semacam kutukan yang paling mengerikan dan zero tolerance. Saya lahir dan tumbuh dari keluarga kristen yang sangat taat dengan ajaran kristen. Bagi keluarga saya Kristen adalah agama yang paling sempurna, Jalan hidup satu-satunya, Kebenaran hakiki. Yeahhh I know.
Padahal tidak ada yang salah dengan jatuh cinta, bukan? Aku hanya bilang kalau aku jatuh cinta, kami tidak pacaran apalagi merencanakan pernikahan.
Aku jatuh cinta dengan pria ini dengan kesadaran penuh di kepalaku bahwa aku harus tetap menjaga jarak karena aku tahu tidak mungkin memilikinya. Tidak mungkin aku membawa pria yang tidak percaya Yesus kerumahku. Sebagaimanapun aku sangat mengagumi kebijaksanaan Zen dan kedamaian ajaran Buddha.
Aku pernah bercanda seperti ini dengan kakakku, tiba-tiba dengan serius dia berkata “Beda suku tak apa, beda negara tak apa, tapi jangan pernah coba-coba dengan beda agama. Agamanya itu kan penyembah patung”. Ketika aku ceritakan gelisahku ini pada temanku responnya juga sama, “Iss, mereka itu penyembah berhala”. Dan aku juga yakin respon yang sama akan dilontarkan Mama dan keluarga besarku. “Kepercayaan mereka sesat”. Sekalipun orangnya baik, ramah, sopan, rajin menabung dan sayang mertua, kalau udah beda keyakinan tetap aja dicap “sesat”, kalo ajaran sesat mengajarkan kebaikan, cinta, kasih dan kedamaian kenapa engga? *ehh..
Ok, Well. Para umat beragama memang selalu mengklaim bahwa agama mereka adalah agama yang paling benar dan paling sempurna, agama lain adalah sesat dan kafir. Saya mungkin terlalu naif berpikir bahwa mempertanyakan tuhan adalah hal biasa. Terlalu naif berpikir bahwa surga dan neraka adalah urusan DIA yang diatas. Lagi pula untuk apa beragama jika hanya untuk mendapatkan pahala agar masuk surga dan ketakutan masuk neraka, lalu esensi kemanusiaan itu sendiri menguap, karena mereka terlalu sibuk membela Tuhan. Padahal seharusnya Tuhan yang membela manusia. Mungkin itu yang menyebabkan naifnya umat beragama untuk membakar rumah ibadah kepercayaan lain, dan mengurusi makanan orang lain.
Saya percaya banyak hal di dunia ini akan terasa lebih indah jika dihadirkan tanpa penghakiman. Karena, apa menurut saya benar belum tentu benar menurut orang lain, apa yang menurut saya bagus belum tentu diamini bagus bagi orang lain, apa yang menurut saya baik mungkin buruk bagi orang lain. Jika semua ini adalah suatu kepercayaan, haruskah diperdebatkan? Haruskah ada kategori benar dan salah? Haruskah yang ini diizinkan dan yang itu dilarang? Padahal inti semua ajarannya adalah baik.
Kita harusnya terlatih melihat perbedaan, agar tidak muncul kelompok yang mengkafir-kafirkan kepercayaan orang lain. Ada yang bilang mainnya kurang jauh, iya! kurang jalan-jalan sampai ke pelosok-pelosok negeri ini.
**
Well, di awal aku sudah bilang bahwa aku jatuh cinta dengan pria bermata sipit dan beda Agama, kami tidak pacaran apalagi merencanakan pernikahan. Lagi pula aku Jatuh cinta dengannya tanpa tahu apakah dia Jatuh cinta denganku. Kami hanya dua orang yang sering berbagi banyak hal, berbagi pemikiran melalui perdebatan-perdebatan, berbagi kegilaan dan banyak kebaikan. Ini hanya jatuh cinta diam-diam atau mungkin jatuh cinta sendirian. Aku tidak pernah memberitahukannya.
Membayangkan bahwa kami akan bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan adalah sesuatu yang sangat tidak mungkin, tapi alasanku masih rasional menjaga perasaan keluargaku dan keluarganya.
Bukan (sama sekali bukan) karena dia penyembah berhala seperti yang dituduhkan atau karena dia sudah pasti akan masuk neraka karena berseberangan dengan Agama kami. Aku selalu menentang pemikiran yang mengkafir-kafirkan dan menuduh sesat untuk kepercayaan orang lain. Itu karena kita memakai kacamata iman kita untuk menilai kepercayaan orang lain.
Cinta tak harus memiliki (seperti judul lagu), Aku benar-benar mencintainya tapi menghindarkan diri dari polemik yang lebih rumit. (dicoret dari daftar warisan keluarga, 1 ekor kerbau) adalah bentuk cinta yang lain. Lagipula seperti kata @sudjiwotedjo
Untitled1
Yah, aku tidak bisa mengontrol hatiku agar tidak jatuh cinta dengannya, seandainya aku bisa mengontrol takdirku. Bukan seperti tanggapan Teman saya ini ketika saya tsurhat lalu dia marah-marah karena saya lupa pada prinsip, maksudnya sebagai kristen saya harus menjalin hubungan dengan kristen juga. Lalu ketika aku membantah bahwa aku tak bisa memilih jatuh cinta dengan siapa?
Kata teman saya:
Untitled2
Bagaimana mungkin saya bisa mengajari hati saya untuk tidak jatuh cinta? Teman saya benar-benar keliru.
Buat saya, cinta itu sejatinya adalah proses yang tumbuh dan terus berkembang di dalam hati. Terus tumbuh sekalipun kita coba membunuhnya, semakin kita coba membunuh perasaan itu, dia semakin kuat, semakin kita berusaha melupakannya dia semakin nyata menguasai semua sudut pikir. Cinta itu awalnya bukan sesuatu yang diharapkan lalu ketika dia hadir dia menjelma menjadi harapan dan doa. Cinta tidak bertumpu pada status dan perkataan. Kalau kata kawanku bahwa agar tidak jatuh cinta adalah jangan buka hati dan jangan berharap. Ah, itu cukup pendapatnya saja, setiap orang berhak berpendapat dan berhak untuk tidak sepakat pula.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGAMBILAN SUMPAH, PELANTIKAN DAN UPACARA SERAH TERIMA JABATAN

ONE DAY TRIP IN SEMARANG

Analisis Slumdog Millionaire