Sitampurung, giringgiring dan Jokowi



sumber gambar : FB Sitampurung topa bosi

Sesungguhnya kalian yang kebanyakan tinggal di kota dan belum pernah menjamah pelosok-pelosok dari negara tercinta ini akan terkaget-kaget. Sekalipun teknologi sekarang melalui siaran TV maupun di Internet sering memberitakan tentang desa-desa terpencil di negeri ini, tapi menjadi bagian dan sekaligus menjadi aktor langsung yang mengalami tinggal di desa terpencil, mungkin hanya nol koma sepersekian persen dari yang bisa kalian rasakan melalui menonton. Sekalipun kalian menonton dengan penuh emphaty dan ber oh-oh ria di depan TV.

Sebelum menjadi bagian kaum urban miskin yang berpendidikan di Ibukota saya pernah menjadi bagian dari masyarakat yang terisolasi secara geografis, kurangnya sarana dan prasarana di desa menjadi salah satu penyebab kesenjangan.

Contoh kecilnya adalah ketika mungkin kalian sering mengenang nostalgia dengan media sosial bernama friendster, saya bahkan tidak sempat mengenal apa itu friendster padahal saya adalah generasi yang lahir tahun 90-an, saya saja mengenal facebook setelah kuliah tahun di 2009, dan dibuat terpesona dengan kepintaran google saking takjubnya saya dengan internet” yang saya anggap seperti “Tuhan” karena maha tahu dan dia memberikan semua jawab atas semua tanya yang aku ketikkan di mesin pencari. Bagi kalian yang tinggal di kota mungkin itu sudah mainan kalian sejak duduk di SMA.

Layanan warung internet (warnet) di jaman saya waktu itu hanya ada di kecamatanwaktu itu masih ada sekitar 2 atau 3 warnetlah, dengan biaya per-jamnya 10 ribu rupiah. Lha, saya sebagai anak desa tak pernah punya uang jajan, tidak punya akses untuk masuk kesana, warnet itu dulunya adalah kemewahan mainan anak orang kaya. Selain masalah biaya, jarak adalah persoalan lainnya jarak sitampurung dengan siborongborong  kurang lebih 5 KM dengan menggunakan angkot, tak usah bermimpi seperti busway dengan AC sekarang, Angkotnya hanyalah kendaraan roda 4 yang sudah butut dan karatan yang bisa ngadat ditengah jalan sesuka hati dan pelajar turun dan ikut mendorong rame-rame, kalau tanjakan rasanya angkotnya maju  mundur cantik ala syahrini, angkot tersebut tidak mengantarkan saya sampai rumah, angkot tersebut hanya melintas di jalan arteri dan rumah saya masih sangat jauh ke dalam (dari simpang HKBP dolok nauli sitampurung) saya masih harus jalan kaki sekitar 2 KM. 12 tahun saya lalui perjuangan ini.

Masa kecil itu pahit jenderal! Mungkin itu kata-kata yang tepat untuk menggambarkan masa kecil saya (yah... meskipun hidup saya sampai saat ini belum sampai pada fase sweet-sweetnya). 

Sitampurung adalah Desa Industri sebagia produsen besi tempahan sejak tahun 1915-an, selain pembuat giring-giring (lonceng), aneka benda tajam mulai dari parang dapur, babat, pisau sampai cangkul di produksi di desa saya dengan cara manual. Ayah saya juga berprofesi sebagai Panopa (pandai besi), Ibu saya melakukan apapun untuk membantu perekonomian keluarga kami, menanam padi-menanam kopi-menanam sayur-beternak Ayam- beternak Bebek. Sungguh mama kami  punya banyak profesi. Saya dan abang/ kakak saya juga harus siap terjun menjadi Asisten dari usaha Bapak dan mamak saya  setiap hari tanpa kenal hari libur atau hari sekolah, Ujian semester atau Ujian Nasional semuanya sama saja kami harus bekerja keras dan belajar keras setiap hari (cieeelaahhh, betapa dulu saya anak yang berbakti pada orangtua, nusa dan bangsa). 

Setiap pagi setiap berangkat sekolah, kami punya tentengan sendiri, menenteng telur bebek pesanan untuk diantar, *menenteng cangkul, menenteng hait-hait, menenteng panuttuk dan banyak lagi jenis-jenis besi olahan bapak saya. Malu? Jujur terkadang iyaa, sambil berangkat sekolah saya bisa mampir di beberapa rumah tergantung banyaknya pesanan hari itu. Di angkot yang berdesak-desakan saya masih harus melindungi telur bebek saya agar tidak pecah dengan tatapan aneh dari seisi angkot. Kadang saya membawa 50 butir telur pesanan warung makan di kecamatan. Jangan harap uang nya bisa saya gunakan untuk beli icecream, saya dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang sangat ketat management keuangannya. Uangnya sudah diakumulasikan dengan seksama untuk ongkos bulanan, bayar LKS, bayar SPP, dan banyak lagi tagihan lainnya, sisanya dikumpulkan lagi untuk mebayar tagihan-tagihan kakak saya di Universitas. tak ada jajan booook!. Jangan harap setelah menempuh perjalanan kiloan meter saya bisa menikmati tidur siang, saya harus segera berangkat keladang (in batak language BALIAN) mencangkul- menanam-memetik kopi dan puluhan aktivitas lain di ladang. Malamnya jangan harap saya bisa langsung mandi dan belajar untuk PR besok, saya masih harus memasak- memberi makan hewan ternak- memasukkan ke kandang. Tak jarang kami baru bisa makan malam pada pukul 21.00. lelah? Banget. 

Tapi saya masih harus belajar- menghitung-mengarang esai- menghafal untuk ujian dan sebagainya. Seringkali saya ketiduran di meja belajar karena kelelahan atau buku yang saya bawa ke kamar untuk di baca berakhir menjadi bantal. Kau pikir aku bisa bangun agak  siang besoknya? TIDAK!  Saya harus bangun subuh- memasak- mencuci piring, menyapu rumah- berlari mengejar angkot-ditinggal angkot-terlambat-dihukum.

Kami tidak mengenal weekend, hari libur untuk main-main. Di hari minggu satu-satunya hari merah dikalender yang rutin tiap minggu, kami menggiling (mengupas) kopi, dibersihkan, dijemur untuk di jual pada hari selasa (Pasar raya, pasar paling besar di siborongborong) Tangan saya tidak mulus seperti tangan kawan-kawan saya, kuku-kuku saya sampai coklat karena kopi. Dulu saya hitam, kulit saya kering tidak dikasih body lotion. Tapi saya Pintar (sombong dikit dong.. hahaha) , mungkin itu alasan satu-satunya kenapa saya punya banyak Teman. Bweeeeee *ditabok masyarakat*. Sekarang saya udah ber-evolusi menjadi cantik banget, menurut pengakuan teman-teman saya, puja-puji saya terima setiap posting foto dimedia sosial. Tapi kok saya masih jomblo yaa? (ehh, gak ada yang nanya yaa...).

**
Apakah saya menyesali masa kecil saya? Apakah saya menyesali dilahirkan di keluarga pandai besi yang berisik dengan suara gemerincing besi yang dipukul bertalu-talu? Apakah saya malu menjadi bagian dari sitampurung yang masyarakatnya dibilang “nengel” (bolot) karena terbiasa berbicara dengan suara keras ditengah hiruk-pikuk suara tung-tang-ting besi yang dipukul?. TIDAK, sama sekali TIDAK kawan.

Tadinya aku berpikir sama dengan mu, tak ada yang menarik dari Desa yang berjarak ribuan kilometer dari Ibukota yang gemerlap. Maka salah satu alasanku belajar hingga larut malam, aku ingin punya tiket masuk Universitas, maka aku akan  meninggalkannya, aku ingin meninggalkan desa yang kupikir tidak ada harapan. Dan di ruas Ibu kota aku ingin menegakkan mimpiku dengan gelar sarjana yang sangat membanggakan jika aku pulang kampung. Ternyata aku salah, aku lupa dengan bunyi merdu giring-giring, *bege ma.... begema.... giring-giring rupanya sudah menggema sampai ke timur bahkan sudah mendunia. 

Aku dan Banyak sarjana yang dilahirkan oleh desa ini merasa bahwa tak ada yang bisa kami lakukan disini, tak ada yang akan membayar kami dengan pantas disini. Lalu kami berbondong-bondong membawa gelar sarjana kami  ke kota, pemuda desa yang bosan bertani memilih menjadi buruh di kota. Kami terlalu pasif, menunggu lirikan  pemerintah untuk membangun kearifan lokal yang sudah berusia ratusan tahun.

Beberapa waktu yang lalu kunjungan presiden Jokowi ke Danau Toba yang sempat menjadi Viral karena  kostumnya dan ada netizen menyebut Jokowi “lady gaga Indonesia”, padahalkan kalo gak ngerti adat Batak gak usah komentar muncungnya itu! (nahh lo, terprovokasi juga awak buat marah). Jokowi yang mendarat di Bandara Udara silangit (hanya berjarak 6 KM dari Sitampurung), Agenda Bapak Presiden sangat padat, meninjau progress pembangunan Bandara silangit menjadi Bandara Internasional, meninjau pembangunan jalan Tol, Meninjau stasiun KA, mendatangi pasar-pasar traditional, membuka karnaval kemerdekaan pesona danau toba. Dari sekian banyak agenda kunjungan Bapak Presiden yang saya lihat di media Massa tidak ada sedikit pun membahas tentang kearifan lokal di sitampurung misalnya, mungkin lain kali kalo ada kunjungan kepala negara, perlu dibuat agenda khusus meninjau desa-desa yang terpencil mengembangkan ekonomi kreatif. ini hanya saran lho yaa. Mungkin pak Jokowi belum tahu keberadaan Industri yang sudah sangat me-legenda ini, padahal lho yaa kalo Bapak Presiden tahu mungkin Beliau bakal memesan sebuah giring-giring  besar  untuk dipasang di istana, jadi kalau ada rapat atau ingin mengumpulkan para menteri-menterinya tinggal memukul lonceng dengan dentang suaranya menggema sampai radius 2 kilometer. Selain itu Istana akan semakin epic dan vintage dengan Lonceng ke-emasan buatan sitampurung. Di ruang-ruang sidang DPR juga perlu dibuat lonceng rasanya biar mereka ingat waktu, dan membangunkan mereka saat tidur di ruang sidang.

Sebenarnya, menjadi tanggung jawab  para sarjana untuk membangun desa, tapi sering ling-lung akan mulai darimana, atau kekhawatiran lain saya makan apa kalo ndak ada yang bayar. Ahh, sama saya juga sedang mencari solusi untuk hal ini, kamu punya?. Semoga saja Kunjungan presiden ke sumatera utara akan membuka peluang-peluang baru untuk desa-desa terpencil, meningkatkan transportasi bagi kami adalah misi yang sangat mulia agar kampung kami punya akses yang memadai ke kota, kami tidak lagi ditipu para agen yang memborong hasil tani atau kesempatan memasarkan kerajinan besi selain luas. Desa kami butuh Investor untuk mengembangkan Industri ini.  tapi sekaligus saya juga khawatir siapkah desa dengan globalisasi ini? atau mereka akan tergerus dibalik kapitalisme? Siapkah putra daerah menjadi pemimpin-pemimpin proyek yang ada?, bekerja untuk daerah sendiri Atau nanti justru orang jawa, orang kalimantan atau orang asing yang akan bekerja disini? karena kami tak mampu dan kalah saing. Salah satu cara untuk membangun dan memberikan kontribusi lebih adalah melalui pendidikan. Maka Desa butuh sarjana, Sarjana yang punya hati, punya semangat Nasionalisme dan Idealisme, Kemewahan terakhir yang dimiliki sarjana sekarang.

notes:
*giring-giring : lonceng
*panuttuk, haithait : peralatan pertanian untuk perkebunan karet atau kelapa sawit
*begema- begema giring-giring i : sebuah lagu batak  yang di adaptasi dari jingle bells

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Slumdog Millionaire

PENGAMBILAN SUMPAH, PELANTIKAN DAN UPACARA SERAH TERIMA JABATAN

ONE DAY TRIP IN SEMARANG