Malaikat Tanpa Sayap *part one*
*Malaikat Tanpa Sayap Part 1*
Ibuku
adalah orang yang baik, Bukan karena dia mama yang ngelahirin aku, membiayai
seluruh kehidupan ku, lalu menyekolahkanku hingga sarjana, mendukung semua
mimpi-mimpi dan keinginanku meskipun terkadang absurd, masih mengkhawatirkan
aku makan apa? Masih punya uang atau tidak? Di usia segini dan sudah bekerja.
Ibuku adalah orang baik, manusia yang paling tulus yang pernah ada yang tidak pernah
menuntut balas.
Aku
masih ingat entah ada berapa banyak yang ditanggung, diterima tinggal di rumah
kami kala aku masih kecil. Keluarga kami bukan keluarga kaya, Hidup pas-pasan,
menanggung biaya 7 orang anaknya aja sudah banting tulang setengah mati tapi
masih sempat memikirkan orang lain.
Dulu
aku ada Tulang (paman) masih muda, dia tinggal bersama ibu tirinya dan sudah
ditinggal oleh Bapak/Ibunya. Awalnya Tulang ku ini sama seperti pria lain di
kampung kami, dia tidak tampan ada sedikit cacat di bibirnya (kata orang
sumbing). Tulang ku ini tak punya banyak kawan, tak pernah punya pacar. Dia
selalu direndahkan dalam pergaulan sosialnya termasuk dalam keluarganya.
(mungkin) bertahun-tahun di dera oleh kesepian, dengan pikiran yang banyak dan
dia tidak punya tempat untuk sekedar cerita. Dia adalah pria yang sangat baik sebenarnya,
dia bekerja membanting tulang untuk membatu ibu (tirinya), tapi Ibu (tirinya)
tidak pernah memperlakukan dia sebagai anak lebih sebagai budak yang disuruh
menghasilkan uang dan uangnya akan dihabiskan oleh adik dan Ibu (tirinya). Dia
tidak pernah berkesempatan memiliki baju baru, sepatu baru, sendal baru. Hal
kecil sebenarnya, penampilan nya yang kumal dan tidak pernah mengikuti style
membuat Tulang ku ini makin terkucil dari lingkungan sementara adik (tirinya)
tampil rupawan bak superstar holllywood.
Aku
lupa di usia keberapa, yang pasti tulang ku ini menjadi stress, bisa dibilang
sudah gila. Dia mengamuk. Di kehidupannya saat normal dia adalah pendiam yang
sangat pendiam, tidak pernah marah sebagaimana pun perlakuan orang, tidak
pernah menuntut. Aku pikir dia adalah manusia yang paling ikhlas menjalani
kehidupan ini. TIDAK! Dia sama seperti yang lainnya hanya manusia biasa yang lemah. Dia hanya
memendam semua amarah, semua benci di dalam hati disetiap sudut pikir. Hingga
menjadi bom waktu yang siap meledak. Yah, Iam sorry to say but akhirnya dia
GILA. Dia suka teriak, dia mengamuk hingga akhirnya di pasung. Tulangku ini
masih keluarga dengan kami, bisa
dibilang bukan keluarga Inti tapi masih ada partuturan (silsilah dalam bahasa
batak) yang menghubungkan).
Mengetahui
itu, Ibu ku adalah satu-satunya yang peduli, menurutnya tidak ada seorang
manusia pun yang layak dipasung, manusia tetaplah manusia tetap bisa didekati
hatinya diajak bicara. Akulah yang paling keras protes waktu itu, aku gak mau
orang gila maccam dia tinggal di rumah, “kita bukan keluarga terdekatnya bu?,
masih banyak keluarganya yang kaya?. Kenapa harus kita? Karena oppung boru,
boru Sinaga, satu marga masih keluarga dan dia Tulang ku?. Aku terus menggugat,
Ibuku tersenyum, kasihan nak, dia tak akan menggagumu?. Ohh, Ibu lebih kasian
kepada orang gila yang terpasung ketimbang anakmu yang akan serumah dengan
orang gila.
Ibuku
benar, berbulan-bulan lamanya Tulang tinggal di rumah, dia tidak pernah
teriak-teriak seperti yang dilakukannya dulu. Dia hanya suka bercerita tidak
jelas, dan Bapakku manusia paling sabar yang ku kenal di dunia ini dengan sabar
mendengarkan ceritanya yang tidak nyambung. Kadang dia menangis, kadang dia
normal lalu cerita sebentar kemudian sarafnya rusak. Ibuku memperlakukan dia
dengan sangat baik, mengajaknya gereja, mengajaknya membaca Alkitab dan mengajarinya
menyanyi lagu-lagu gereja dari buku ende (kidung jemaat) mengajaknya ngobrol
selayaknya manusia waras, mencucikan bajunya yang kotor, beberapa kali membelikan
dia baju yang murah. Benaran hanya baju murah karena Ibuku tak punya cukup duit
membeli yang agk mahal, tapi Tulangku terharu luar biasa. Setelah dia sembuh
Ibu ku menyuruh dia pulang, dia tidak mau katanya dia mau tinggal di rumah
saja. Tapi kata Ibu dia harus pulang bagaimana pun keluarga adalalah segalanya.
Dia pulang. Tapi tidak lama dia tersinggung lagi oleh kelakuan keluarganya, dia
sakit hati. Lalu sakitnya kumat, sekrup dikepalnya kembali lepas. Diantar
kerumah kami karena katanya Cuma di rumahkami dia bisa tenang dia Cuma nurut
sama Bapak ku,
Begitu
seterusnya terjadi berulang-ulang, hingga akhirnya Ibuku tahu sebuah tempat
rehabilitasi. Menurut Ibu kalau dia masih bertemu orang-orang yang sama setiap
hari sewaktu-waktu dia bisa lepas kendali. Tidak seperti tempat rehabilitasi
sebenarnya jauh dari kampungku ada sebuah tempat pengobatan bagi penyakit
seperti itu. Mereka tinggal di lingkungan yang seperti mereka, tidak
berinteraksi dengan manusia normal seperti kita (hanya kita yang mengangap kita
normal sebenarnya). Mereka berkebun disana, layaknya sebuah perkampungan tapi
diperuntukkan bagi orang-orang yang sarafnya miring atau sekrup dikepalnya
lepas. Akhirnya Tulangku sembuh. Tapi dia tidak mau pulang lagi dia memilih
mengabdikan hidupnya di tempat itu, melayani mereka yang sakit dan dibawa
kesana. Dia menjadi pelayan yang melayani pasien-pasien seperti dirinya.
Aku
tidak ingat dengan pasti, waktu itu usia tulangku sudah lewat angka 30, hampir
34 kalo tidak salah, entah bagaimana ceritanya waktu itu aku sedang menempuh
pendidikan s-1 jauhh dari kampung. Akhirnya Tulangku akan menikah. Ibuku sangat
bahagia, seperti menyambut pernikahan anaknya sendiri, aku juga turut bahagia.
Tapi bahagianya Ibuku beratus-ratus kali lipat dari bahagia yang kurasa. Setelah
semua yang terjadi, Ibuku tidak pernah
mendapatkan uang. Tapi aku tahu Ibuku adalah wanita yang paling ikhlas,
Ibuku melakukannya bukan untuk uang tapi untuk sebuah kebaikan bagi kehidupan.
Dulu
aku berpikir, setelah menikah memiliki istri dan kelak memiliki anak. Tulangku
akan hidup bahagia. Jauh dari bayang-bayang ibu (tirinya). Belum pernah aku
berdoa setulus itu untuk tulangku. Kami berharap setelah kehidupan pahit yang
dilaluinya hampir seumur hidupnya kami berpendapat bahwa akhirnya Tulangku akan
bahagia. Pernikahan ini adalah awalnya. Tapi Happy ever after memang Cuma milik
walt disney. Hanya 3 bulan setelah pesta pernikahan yang di rayakan dengan
meriah dengan sumbangan-sumbangan dari keluarga untuk bisa melangsungkan pesta
pernikahan itu. Istrinya kabur dari rumah. Entah karena apa aku juga kurang
tahu, sejak itu Tulangku jatuh sakit, bukan Sekrup di kepalnya lagi yang lepas.
Ini sakit fisik, matanya menerawang kosong seperti orang yang sudah hilang
harapan. Seperti orang yang putus asa dia kembali pulang ke rumah ibu (tirinya)
Ibuku pernah menawari tinggal di rumah, Tulang ku tidak mau. Katanya dia sudah
terlalu banyak bikin susah selama ini, dan belum pernah bisa membalas budi
baik. Ibu tersenyum, “kalau berubah pikiran, pintu rumah selalu terbuka
untukmu, kapanpun engkau ingin datang dan tinggal selama yang engkau mau”.
Akhirnya
kabar paling menyedihkan pun datang pada tahun 2014, Tulangku meninggal dunia
dalam sakit. Dia meninggal saat ditinggal sendirian di rumah. Katanya dia sudah
sangat lemah waktu itu tetapi tetap ditinggal di rumah oleh ibu (tirinya). Di
duga dia meninggal pada pagi hari akan tetapi mayatnya baru ditemukan pada
malam hari oleh ibunya setelah pulang bekerja.
Waktu
mendapat kabar itu, aku menangis. Aku tidak menyayangi tulangku ini seperti
Ibuku menyayangimnya. Tapi aku selalu percaya segala sesuatu Indah pada
waktunya. Aku mengikuti segala kepahitan, kegetiran yang dilaluinya seumur
hidupnya? Aku menjadi salah satu yang deg-degan menanti kapan kah datang bahagia menghampiri
tulangku?. Aku selalu percaya Tuhan punya rencana yang terbaik. Mungkin ini
memang yang terbaik bagi Tulang. Selamat Jalan Tulang...
***
Aku menulis ini, karena
tiba-tiba teringat Tulang
Setelah barusan mendapat
berita duka cita dari sumedang.
I will tell you on next
page guys....
Komentar
Posting Komentar